Raden Sahid mengawali dakwahnya di Cirebon, di Desa Kalijaga untuk
mengislamkan penduduk Indramayu dan Pamanukan. Di sana ia tinggal
beberapa tahun. Mula-mula ia menyamar menjadi tukang bersih-bersih
(baca: Marbot) Masjid Sang Cipta Rasa. Di masjid itulah ia bertemu Sunan
Gunung Jati. Tak lama berselang ia dinikahkan dengan adik—kemungkinan
adik ipar—Sunan Gunung Jati yang bernama Siti Zainab. Perempuan ini
diyakini sebagai putri dari Syekh Abdul Jalil yang terkenal dengan
sebutan Syekh Siti Jenar. Dari pernikahan tersebut, Sunan Kalijaga
dikaruniai sepasang putra-putri kembar yang ia beri nama Watiswara dan
Watiswari, dan seorang putri dengan nama Ratu Champaka.
Dalam mendakwahkan Islam, Sunan Kalijaga banyak terinspirasi oleh
Sunan Bonang yang memperkenalkan berbagai media peninggalan Hindu-Buddha
yang kemudian diubah dengan menanamkan nilai-nilai ketauhidan yang
mendalam. Beragam simbolisme dalam ritual-ritual kejawen pun dimaknai
ulang dan diberi nafas Islam khas Jawa. Ia memperkenal Islam menggunakan
media wayang, bahkan memprakarsai perubahan wayang beber ke wayang
kulit. Wayang kulit ini ditatah pertama kali oleh Sungging Prabhangkara,
sehingga namanya diabadikan sebagai aktivitas menatah wayang atau nyungging.
Wayang-wayang itu juga diubah dari yang semula dengan gambar-gambar
manusia menjadi gambar lain yang tak lagi mirip manusia. Dengan
pertimbangan bahwa penyerupaan terhadap makhluk hidup dalam bentuk dan
rupa yang sama itu dilarang dalam Islam.
Kepiawaian Sunan Kalijaga dalam berdakwah menggunakan wayang ini
menjadikannya semakin dikenal oleh penduduk Jawa bagian barat dengan
berbagai nama samaran. Di daerah Padjadjaran, misalnya, Sunan Kalijaga
dikenal dengan Ki Dalang Sida Brangti. Di daerah Tegal ia dikenal
sebagai dalang barongan dengan julukan Ki Dalang Bengkok. Ia juga
dikenal dengan Ki Dalang Kemendung ketika mendalang topeng di kawasan
Purbalingga. Sedangkan di Majapahit ia masyhur sebagai Ki Unehan. Selain
nama-nama tersebut, ia juga memiliki sejumlah nama lain, seperti Sunan
Kali, Syekh Malayakusuma, Jaka Satya, Pangeran Tuban, dan Raden
Abdurrahman.Sementara itu, orang-orang yang ingin nanggap wayang maka bayarannya cukup dengan membaca dua kalimat syahadat. Dengan cara itulah Islam semakin berkembang di tanah Jawa.
Sunan Kalijaga pun mengeksplorasi konsep pewayangannya dengan
nilain-nilai intrinsik Islam. Ia, misalnya, memperkenalkan konsep
pewayangannya dengan sebutan wayang “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un,”
yang berarti berasal dari Allah dan harus kembali kepada Allah dengan
selamat. Konsep pewayangan ini pun mau tidak mau harus mengalami
konversi ke dalam istilah Jawa sehingga menjadi “ojo lali sangkan paraning dumadi.” Demikian pula perangkat kekayon atau gunungan dalam pewayangan pun tidak luput menjadi sarana dakwahnya. Seperti
makna simbolik gunungan yang menyerupai masjid, tetapi jika dibalik maka
akan mirip dengan bentuk hati. Ini artinya hati umat Islam harus selalu
terpaut dengan masjid karena masjid menjadi pusat peradaban, sekaligus
muara perubahan dalam Islam.
Selain itu, dilihat dari segi etimologi kekayon berasal dari kata kayu yang berarti pohon; hayyun atau simbolisme pohon hidup; yang bisa bermakna kehidupan dalam konteks sangkan paraning dumadi. Sedangkan gunungan (kayon) pewayangan
merupakan simbolisasi dari gunung, api, pohon besar, ombak, samudera,
gua, dan lain-lain. Ada pula yang mengatakan bahwa kekayon berarti kehidupan di dunia fana, yang dikaitkan dengan tancep kayon sebagai sangkan paraning dumadi (kembali kepada asal penciptaan manusia).
Tidak hanya itu, dalam jagad pewayangan Sunan Kalijaga juga
menciptakan berbagai gubahan lakon. Beberapa lakon yang digubah antara
lain lakon Dewa Ruci, Jimat Kalimasada, dan Petruk Dadi Ratu. Serat Dewa Ruci
berasal dari naskah kuno Nawa Ruci. Lakon ini mengisahkan perjalanan
ruhani tokoh Bima di bawah bimbingan Bhagawan Drona sampai ia bertemu
dengan Dewa Ruci. Dalam lakon ini Sunan Kalijaga sengaja
mengilustrasikan Dewa Ruci sebagai sosok Khidhir, sedangkan Bima
digambarkan dirinya sebagai yang mencari ilmu makrifat dan hakikat.
Adapun lakon Jimat Kalimasodo diambil dari cerita senjata milik
Prabu Darmokusumo (Yudistira). Dalam lakon tersebut Puntadewa, sosok
suci agama Hindu yang bijaksana dan berbudi luhur diceritakan tidak
dapat masuk surga, kecuali harus menggunakan satu pusaka khusus yang
disebut dengan Jamus Kalimasada atau Jimat Kalimasada, atau kalimat syahadat. Konon, Naskah Serat Dewa Ruci merupakan salinan lain Suluk Linglung dalam konsep pertunjukan. Jika ajaran Suluk Linglung hanya diperuntukkan bagi murid-murid dalam tarekatnya, maka Serat Dewa Ruci merupakan saduran yang memiliki ide dasar yang sama dan diperuntukkan untuk masyarakat secara luas.
Beberapa syair yang diyakini berasal dari Sunan Kalijaga di antaranya tembang lir-ilir; gundul-gundul pacul; e, dayohe teko; dan lain-lain.
Demikian pula peninggalan karya sastra beserta ujaran-ujaran yang sarat
nuansa mistik Islam yang sangat kental pun menjadi prioritas utama.
Selain itu, syiar lain yang tidak kalah menarik adalah tradisi kenduri
dengan berbagai simbol. Ini tampak dalam tradisi gunungan atau tumpeng yang kemudian dilestarikan oleh Kerajaan Mataram Islam yang masih dilestarikan sampai sekarang. Gunungan
menjadi acara pamungkas dalam berbagai perhelatan, dan setelah
menyantap makanan dalam gunungan itu terdapat tradisi mencuci tangan
dengan tiga jenis tempat pencucian. Tempat pencucian pertama berisi
bunga mawar; kedua, bunga kenanga; ketiga, bunga kanthil. Ketiga tempat
pencucian dengan tiga jenis bungan ini mengandung filosofi yang dalam.
Bahwa dalam kehidupan yang berwarna-warni (mawarni-warna) dengan hiruk-pikuknya, dan manusia bebas dan bisa berbuat apapun (kena ngene-kena ngono), tetapi hatinya harus tetap melekat (kanthil) kepada Yang Satu dan Esa yaitu Allah Swt.
Setelah melanglang buana ke berbagai wilayah di Nusantara, bahkan
dikabarkan dakwahnya sampai Palembang, dan sempat menimba ilmu kepada
Syekh Sutabaris, Sunan Kalijaga pun memilih kembali ke Kadilangu. Di
sana ia menetap dan membina kehidupan rumah tangga hingga akhir
hayatnya. Dakwahnya pun berlanjut dari daerah pesisir utara Demak,
hingga ke pedalaman. Istri yang disebut-sebut hanyalah Dewi Sarah, putri
Maulana Ishak. Dari pernikahannya dengan Dewi Sarah Sunan Kalijaga
dikaruniai tiga orang anak, salah satunya Raden Umar Said, yang kelak
bergelar Sunan Muria.
Sunan Kalijaga dimakamkan di Desa Kadilangu, sekitar 3 km dari Masjid
Agung Demak. Makamnya terletak di kompleks pemakaman dengan dinding
melingkari area kompleks. Makam ini selalu ramai dipadati peziarah,
utamanya pada malam Jumat Pon, Pahing, dan Kliwon saat dibukanya pintu
tungkub. Selain itu, makam ini juga dibanjiri peziarah pada tanggal 10
Dzulhijjah menjelang Idul Adha. Karena saat itu berlangsung upacara
penjamasan pusaka Kelambi Kyai Gondil dan Kyai Onto Kusumo, Keris Kyai
Crubuk dan Kyai Sirikan jelang Idul Adha.
Untuk menuju ke sana, peziarah harus melintasi lorong beratap yang
dipenuhi para pedagang. Di beberapa titik lorong para peziarah akan
melewati lantai dengan hiasan ornamen bunga yang indah. Ada pendopo
tempat para peziarah beristirahat sejenak. Sebelum mencapai titik makam
Sunan Kalijaga, tampak beberapa makam keramat lainnya seperti makam Arya
Penangsang dan Adipati Jipang Panolan.
Makam Sunan Kalijaga berada di dalam sebuah bangunan tungkub
berdinding tembok berukuran besar dengan ukiran kayu. Pilar tungkub
dilapisi keramik dengan hiasan ornamen limasan di bagian atas dan bawah.
Dinding di antara pilar dihiasi ukiran kligrafi, sedangkan ukiran pada
jendela dilengkapi teralis besi. Di luar tembok tungkub terdapat
beberapa jirat makam Mpu Supo adik ipar Sunan Kalijaga dan
putranya, Djaka Sura. Di sebelah dinding tungkub ada makam Panembahan
Pengulu, cucu Sunan Kalijaga. Selain itu, ada sembilan blok dengan 175
makam, termasuk Panembahan Hadi, Ratu Retno Pembayun, Ratu Panenggak,
Raden Abdurrachman. Ada pula makam abdi kinasihnya, yaitu Kyai dan Nyai
Derik; makam Dewi Roso Wulan, adiknya; dan makam Raden Tumenggung
Wilotikto, ayahandanya. Selain maka, ada juga petilasan batu yang
diyakini sebagai tempat duduk Sang Sunan ketika memberikan wejangan
kepada para muridnya. Tempat duduk itu dikelilingi tembok dengan tulisan
“Selo Palenggahanipun Kanjeng Sunan Kalijaga” di sebelah pintu masuk.[6]
Di tempat-tempat itulah, mereka duduk bersila dan menundukkan kepala.
Asyik masyuk dalam dialog imajiner dengan wali-wali yang telah
mendahuluinya. Merapalkan doa-doa, membacakan ayat-ayat Al-Quran,
membasahi bibir dengan rupa-warna zikir. Menghadiahkan bacaan untuk
mereka sebagai wujud terimakasih karena telah menyampaikan Islam dalam
kalbu tanpa kekerasan, tanpa paksaan, tetapi dengan kasih sayang.
Meneteskan air mata sebagai bentuk kesadaran sebentar lagi kami akan
menyusul dan menjadi bagian mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar